"Ngaben Masal" mungkinkah ??

Dalam tradisi kita sebagai masyarakat Bali, Badan/tubuh adalah suatu wadah atau badan kasar / selimut bagi jiwa yang tertanam di dalamnya. Saat seseorang meninggal dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh. Tubuh terdiri dari unsur api, udara, air, bumi, dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta, menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah tujuan ngaben.

Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang.

Itulah yang jelas tertangkap dari cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan ngaben atau pelebon. Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat, penuh harapan bagi yang telah meninggal, maupun yang ditinggalkan.

Sejatinya ke mana perginya jiwa-jiwa orang meninggal? Bukankah sebenarnya jiwa-jiwa itu tidak pergi, tapi justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan? Maka, berbahagialah mereka yang mengantar kepulangan itu dengan penuh syukur dan sukacita.

Kata-kata terakhir "syukur dan suka cita", apa benar?? melihat keadaan ekonomi sekarang ini, harga barang semuanya meningkat, tak terkecuali harga perlengkapan upacara. Masih bisakah dikatakan syukur dan suka cita??
Bagi sebagian orang mungkin "ya" tapi bagi pemilik jenasah mungkin berbalik 180 derajat. Maka "NGABEN MASAL" menjadi sebuah solusi dari semua ini.
Bulan Juli 2008, puri Agung Ubud melaksanakan upacara ngaben masal, menyertakan jenasah dari keluarga biasa... mm.... (patut diancungi 4 jempol sekaligus)... tentu hal ini dipandang luar biasa bagi pemilik jenasah, harapan melihat jalan bersatunya atma dengan parama atma kian besar karena ngaben masal bersama keluarga kerajaan.

Berkaca dari kejadian Puri Agung Ubud yang tergolong keluarga kerajaan melaksanakan ngaben masal bersama keluarga dari kalangan biasa, maka hal ini patut kita contoh. Dari pandangan agama tidak ada suatu nilai yang berkurang dari pelaksanaan ngaben masal ini. Bahkan memperoleh nilai "lebih", dari segi ekonomi yang paling terasa, biaya yang dikeluarkan jauh lebih sedikit. Pada upacara ngaben sendiri-sendiri biaya yang dikeluarkan ditaksir Rp50 juta, sedangkan pada acara ngaben masal biaya hanya Rp.5juta. sungguh perbedaan yang tajam.


Mungkin bisa menjadi renungan ...
dikutip dari : pojok bali

SEBULAN terakhir, banyak desa-desa pakraman atau pun banjar pakraman di Bali yang menggelar ngaben massal atau ngaben ngerit. Bukan hanya di desa-desa, tetapi juga di perkotaan seperti kawasan pariwisata Kuta dan Nusa Dua. Ngaben secara bersama-sama pun kini seolah menjadi trend di kalangan orang Bali. Tradisi ngaben massal memang jauh lebih hemat dan kaya manfaat. Karenanya, model ngaben seperti ini perlu terus ditradisikan.
-----------------------------------------

SABTU (2/8) lalu, ribuan warga Desa Adat Legian, Kuta tumpah ruah memadati setra (kuburan) desa setempat. Jalan-jalan di kawasan Legian pun terpaksa ditutup. Inilah pelaksanaan upacara ngaben dan nyekah massal kedua kalinya yang digelar Desa Adat Legian. Upacara ngaben dan nyekah massal pertama digelar lima tahun lalu. “Seluruh krama memang menyepakati untuk menggelar ngaben dan nyekah sinarengan (bersama) saban lima tahun sekali,” kata Bendesa Desa Adat Legian, I Wayan Widana.
Legian bukanlah satu-satunya desa adat yang terkena “virus” ngaben dan nyekah massal. Pada hari yang sama, Desa Adat Bualu juga menggelar upacara serupa. 6 Agustus mendatang, Desa Adat Batur, Kintamani, Bangli juga melaksanakan upacara pengabenan bersama. Berbagai desa pakraman lainnya di Klungkung, Karangasem, Gianyar serta daerah-daerah lainnya juga telah menggelar upacara yang sama pada pertengahan Juli lalu.
Ngaben dan nyekah massal kini sepertinya menjadi semacam trend di kalangan orang Bali. Walaupun, kemunculan tradisi ini sesungguhnya tidak bisa dibilang baru. Dulu, raja-raja atau keluarga puri kerap menggelar ngaben bersama melibatkan masyarakat pendukung atau puri. Namanya ngaben ngiring. Biaya upacara biasanya ditanggung pihak puri, sedangkan warga yang ikut hanya ngayah menyelesaikan sarana upakara. Atau, warga yang ikut dikenai biaya yang cukup murah.
Hingga kini, tradisi ngaben ngiring masih berlanjut. Di Klungkung, tradisi semacam ini malah paling sering dilaksanakan. Keluarga puri di Badung, Denpasar, Ubud, Gianyar, puri-puri lain serta griya juga masih memelihara tradisi ngaben ngiring.
Namun, tak sedikit juga yang enggan mendapat label ngiring. Banyak warga yang kemudian menggelar ngaben massal dengan dikoordinir banjar atau soroh (klan) tanpa peran sentral dari pihak puri atau griya. Malah, di Legian, kelompok bangsawan mau melebur diri turut serta dalam ajang ngaben massal yang digelar pihak desa adat.
Dari segi biaya, ngaben massal memang jauh lebih hemat. Biaya sekali ngaben yang biasanya sekitar Rp 60 jutaan bisa dihemat menjadi hanya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta. “Dengan biaya yang jauh lebih hemat, diharapkan warga bisa mengalihkan uangnya untuk keperluan lain seperti biaya pendidikan anak-anak,” kata Ketua LPD Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra, S.H., M.M., yang pernah memfasilitasi pelaksanaan upacara ngaben dan nyekah gratis di desanya tahun 2006 lalu.
Selain hemat biaya, menurut Madra, ngaben dan nyekah massal juga menjadi momentum untuk membangun kembali kebersamaan dan kegotong-royongan di kalangan krama desa adat. Dalam ngaben dan nyekah massal, seluruh warga melebur menjadi satu.
Namun, Madra mengingatkan agar ngaben dan nyekah massal bisa diprogram secara rutin dalam rentang waktu tertentu. Misalnya, lima atau tiga tahun sekali. Dengan begitu, warga yang berada di perantauan bisa terbantu dalam mengelola waktu liburnya.
“Kalau sudah jelas program ngaben dan nyekah massalnya tiap tiga tahun sekali misalnya, warga di perantauan sudah sejak lama bisa ancang-ancang mengambil cuti sehingga tidak menimbulkan persoalan di tempat mereka bekerja. Di sisi lain, mereka bisa penuh terlibat dalam upacara di desanya,” kata Madra.
Dekan Fakultas Brahma Widhya Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib menyatakan pelaksanaan upacara ngaben dan nyekah massal memang patut terus ditradisikan. Menurut Titib, pola massal sangat membantu warga yang tidak mampu. “Paradigma bahwa meyadnya harus besar itu mesti diubah karena itu hanya akan membebani umat,” kata Titib.
Hal senada diungkapkan Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Menurutnya, beragama jangan sampai menjadi beban. Dalam teks-teks agama Hindu pun, beragama mestilah dilakonkan dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. (*)

--------------------------------------
Lalu, kapan kita bisa melaksanakan ngaben masal?
sebuah pertanyaan yang harus kita jawab dengan langkah ... bukan dengan kata-kata semata.... saatnya kita bangkit, tidak lagi mengutamakan gengsi....
astungkara .....

20/7/2010... awal dari upacara ngaben (masal) keluarga Pulasari desa Susuan. Hal baru memang, dan banyak nada negatif yang terdengar. Mungkin sebuah kebiasaan, setiap ada hal yang baru selalu jadi pembicaraan.
Rangkaian ngaben diikuti oleh 4 sawa (tulang) yaitu I Ketut Rai, I Gede Sari, I Komang Lipur, Ni Ketut Precet serta 37 sekah. Ngaben ini dilaksanakan oleh keluarga Pulasari desa Susuan. dilaksanakan dari tanggal 20 Juli 2010 sampai dengan 23 juli 2010. Rangkaian upacara ini adalah upacara Ngaben Ngaskara.
Mudah-mudahan ini menjadi contoh dan renungan kita bersama, yang baik kita tiru dan yang tidak baik kita buang.



1 komentar:

  1. Mohon info, kapan dan dimana ada ngaben massal lagi di Bali untuk bulan Juli dan Agustus 2014? Trm ksh.

    BalasHapus

Komentar anda disini....